Memahami konteks pendidikan Islam di Indonesia tidak cukup hanya dengan melihat bahwa pendidikan Islam merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Akan tetapi, pendidikan Islam juga sekaligus sebagai entitas tersendiri yang memiliki tradisi dan kultur akademik yang berbeda dengan karakteristik pendidikan pada umumnya. Di antara ciri substantifnya adalah, bahwa pendidikan Islam dibangun atas dasar kesadaran dan keyakinan umat Islam untuk menjadi pribadi muslim yang taat (`abdullah, khalifah fi al-ard). Maka, wajar jika pengetahuan dan wawasan keislaman merupakan prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam. Kesadaran semacam ini lalu menjadi èlan vital di kalangan pemimpin agama yang secara mandiri memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan Islam di tengah masyarakat, baik secara individual maupun kolektif-kolegial (organisasi keagamaan, al-jam`iyah al-diniyah).
Pondok (Arab: funduk) atau pesantren merupakan embrio paling genuine atas dimulainya tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Bentuk tradisional dari pendidikan Islam tersebut hingga sekarang memang masih bertahan, meskipun secara terus menerus dan massif tergerus oleh modernisasi, globalisasi, bahkan kapitalisasi pendidikan yang melanda dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya yang paling mengkhawatirkan dari transformasi pendidikan Islam ini bukan semata-mata pada aspek kelembagaannya, melainkan pada semakin surutnya nilai-nilai adi luhung yang menjadi urat nadi pendidikan Islam di Indonesia. Akibat buruk yang paling tidak menguntungkan secara institusional bagi keberadaan pendidikan Islam adalah pudarnya nilai-nilai kemandirian dan keikhlasan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh para pemuka agama. Sementara di sisi lain, pergeseran orientasi terhadap institusi pendidikan semakin menjurus pada proses fabrikasi yang hanya akan melahirkan manusia-manusia robot tanpa nilai dan kering dari moralitas agama.
Kekhawatiran semacam itu tentu tidak terlalu berlebihan, mengingat sekarang ini ekspektasi masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada lebih berkecenderungan materialistik, ketimbang ideal-moralistik. Besar kemungkinan banyak kita jumpai orang tua murid lebih takut jika kelak anaknya tidak mendapat pekerjaan yang pantas, daripada lebih takut anaknya akan menjadi seorang koruptor. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan memang perlu memperhatikan supplay and demand. Akan tetapi, pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat dari dunia pendidikan seharusnya tidak lalu mengorbankan idealisme pendidikan untuk mewadahi proses pemanusiaan manusia (humanizing human) dan proses pembudayaan masyarakat.
Di tengah persinggungan kepentingan semacam itulah, institusi pendidikan Islam sangat berpotensi mampu memenuhi tuntutan masyarakat modern di era global, sekaligus menjadi mercusuar dalam penguatan nilai-nilai dan moralitas agama. Memang, memasuki abad ke-20 terjadi transformasi besar-besaran di tubuh pendidikan Islam di Indonesia. Meski tidak sepenuhnya meninggalkan pola pendidikan tradisional ala pesantren, tetapi modernisasi di tubuh pesantren telah banyak mengubah rasa pesantren menjadi sekolah umum dengan sebutan madrasah. Nurcholish Madjid (alm.), Abdurrahman Wahid (alm.), Karel Steenbrink, Zamachsyari Dhofier, dan Azyumardi Azra adalah sebagian penulis yang cukup berhasil memotret proses modernisasi yang terjadi di tubuh pesantren hingga kemudian terlahir pola pendidikan Islam dalam bentuk madrasah. Transformasi kelembagaan di tubuh pesantren dalam banyak aspek kependidikan memang membawa semangat pembaharuan yang positif, terutama dengan semakin terbukanya paradigma kalangan pesantren dalam menangkap semangat zaman (zeitgeist). Ini tentu saja menjadi momentum bagi umat Islam untuk belajar disiplin ilmu di luar bidang-bidang keagamaan yang selama ini menjadi satu-satunya terjemahan dari "tholabu al-`ilmi faridhatun..." (kewajiban menuntut ilmu) yang dipahami wajib (fardlu `ayn). Sementara pemahaman dan kemampuan pada disiplin di luarnya dipandang fardlu kifayah, bahkan boleh jadi sunnah.
Belakangan, diskusi soal eksistensi pendidikan Islam tidak lagi berkutat pada aspek substantif-akademik, melainkan semakin mengkerucut pada aspek formatif-institusional. Hal ini mengingat keberadaan pendidikan Islam dalam berbagai pola dan bentuknya sudah diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Namun demikian, dalam situasi di mana terjadi peleburan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional, tentu kita harus tetap memperkuat semangat dan cita-cita awal untuk membentengi masyarakat muslim dengan nilai-nilai dan moralitas agama. Jangan sampai tuntutan dunia kerja dan profesional menjadi satu-satunya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada saat yang bersamaan melupakan peran pendidikan dalam melakukan transmisi nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Revitalisasi Pendidikan Islam
Secara kualitas, tuntutan masyarakat di era globalisasi terhadap institusi pendidikan Islam tidak berbeda dengan yang dihadapi institusi pendidikan di Indonesia pada umumnya, mengingat semakin tingginya tingkat kompetisi bagi lulusan di dunia kerja. Namun, ruang lingkup pendidikan Islam yang luas, di mana penyelenggaraannya di madrasah, sekolah umum, dan secara tradisional di pesantren dan majelis taklim, secara kependidikan berpotensi semakin baik. Hal ini mengingat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology) dalam dunia pendidikan sangat membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan yang prima, baik secara administratif maupun akademik.
Sementara itu, diversifikasi pendidikan Islam yang ditandai dengan penguatan pada disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial (human and social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) semakin membuktikan kesetaraan institusi pendidikan Islam dengan sekolah umum. Meskipun memang secara mendasar lokus pendidikan Islam terletak pada pendidikan agama dan keagamaan. Justru dengan demikian secara keilmuan lulusan dari lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki nilai lebih (added value) bahkan keunggulan komparatif (comparative advantage), berupa wawasan dan pengetahuan keislaman yang relatif lebih baik.
Harapan untuk memiliki nilai lebih bagi institusi pendidikan Islam tentu bukan persoalan mudah. Ada sejumlah persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk mencapai target itu. Dari segi kurikulum, misalnya, kita tidak mungkin menjadikan lembaga pendidikan Islam mampu melahirkan lulusan yang ideal, ketika struktur kurikulum tidak memberi ruang yang cukup bagi penguatan bidang-bidang umum secara spesifik dan intensif; dan begitupun sebaliknya. Pada tingkat madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), pemenuhan kurikulum secara nasional perlu diekstensifikasi dengan bidang-bidang keislaman dan kemampuan bahasa asing. Hal ini tidak memungkinkan jika pembelajaran dilakukan tanpa terintegrasi dengan pola pesantren (islamic boarding school). Dengan pola pendidikan berasrama, penguatan bidang-bidang profesional dapat dilakukan secara simultan dengan penguatan pada bidang-bidang keislaman dan pendidikan karakter (akhlak al-karimah). Selain itu, interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan pengelola asrama memungkinkan terciptanya pembiasaan dalam penggunaan bahasa asing, semangat kemandirian, kultur akademik yang kompetitif, bahkan yang tak kalah penting adalah aspek keteladanan pengamalan ajaran agama.
Inovasi dan pembaharuan juga diperlukan dalam pola pengelolaan pendidikan Islam. Sebab, dalam masyarakat global saat ini, institusi pendidikan Islam dituntut memiliki kinerja yang produktif, efektif, transparan, dan akuntabel. Di pihak lain, penerapan tata kelola yang bersih dan baik (clean and good governance) merupakan imbas positif dari demokratisasi pada level pemerintahan yang kemudian menjadi tuntutan di semua level organisasi, termasuk pada tingkat lembaga pendidikan. Sebab, secara tidak langsung, baik atau buruknya pengelolaan pendidikan akan berdampak pada layanan terhadap peserta didik di semua jenjang pendidikan.
Alhasil, pendidikan Islam di semua jenis, jenjang, bentuk, dan pola penyelenggaraannya perlu lebih diperkuat lagi peranannya; pertama, dari aspek keilmuan perlu dilakukan diferensiasi yang lebih spesifik antara orientasi pengembangan akademik dan orientasi keterampilan hidup (lifeskill). Kedua, dalam kapasitasnya sebagai transmitter ajaran dan nilai-nilai keislaman dapat dimulai dengan pembudayaan dan peneladanan pengamalan ajaran Islam pada level institusional (sekolah dan madrasah). Dengan penguatan pada dua peran penting pendidikan Islam tersebut, pembangunan masyarakat relijius dikonstruksi secara sistemik, dengan tidak saja atas partisipasi dan kesadaran dari masyarakat sendiri, tapi juga ada upaya-upaya fasilitasi dari negara melalui Kementerian Agama sebagai regulator penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia. Wallahu a`lam